Kamis, 17 Maret 2011

Tanda baca

Dalam Hanacaraka terdapat pula tanda-tanda baca yang digunakan dalam penulisan kalimat, paragraf dan lainnya. Bentuk tanda baca yang ditangani dalam perangkat lunak ini ada 4 buah yakni :
  • Adeg-adeg
Adeg adeg dipakai di depan kalimat pada tiap-tiap awal alinea.
  • Pada Lingsa
Pada lingsa dipakai pada akhir bagian kalimat sebagai tanda intonasi setengah selesai. Tanda ini hampir setara dengan penggunaan koma(,).
Contoh: wong gedhe, dhuwur, lan pakulitane ireng.
  • Pada Lungsi
Pada lungsi dipakai pada awal suatu kalimat. Tanda ini hampir setara dengan titik.
Contoh: wis meh jam telu esuk, sumini durung bisa turu. pikirane goreh. goreh amarga mikirna bojone kang wis telung dina iki durung mulih.
  • Pada Pangkat
    • Pada pangkat dipakai pada akhir pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. Contoh: aku arep tuku bala pecah : mangkok, piring, lan gelas.
    • Pada pangkat dipakai untuk mengapit angka. Contoh: Ibu mundhut emas 75 gram.
    • Pada pangkat dipakai untuk mengapit petikan langsung. Contoh: Ibu ngendika, "sapa kancamu"

Angka dan lambang bilangan

  • Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Angka jawa adalah sebagai berikut
  • Angka dipakai untuk menyatakan angka dipakai untuk menyatakan (i) Ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas. Penulisan angka untuk kasus ini dilakukan dengan mengapitkan tanda pada pangkat di awal dan di akhir penulisan angka.
Contoh :
Dawane 35 cm.
Bobotku 65 kilogram.
Untuk menuliskan satuan dari suatu bilangan, maka satuan itu bisa dituliskan dalam bentuk kata lengkapnya. sebagai contoh kilogram, meter, kilometer, dan sebagainya.

Aksara Rekan

Kegunaan Aksara Rekan

Perlu diakui bahwa bentuk-bentuk huruf yang ada di dalam Hanacaraka tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam penulisan kata-kata dari manca negara. Sebagai salah satu bentuk asimilasi budaya ini, maka dibentuklah aksara rekan yang pada perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa arab.
Aksara rekan digunakan untuk menuliskan aksara konsonan pada kata-kata asing yang masih dipertahankan seperti aslinya.

Bentuk Aksara Rekan dan Pasangan Rekan

Aksara Rekan dalam Hanacaraka ada 5 buah, yang kesemuanya memiliki bentuk pasangan. Adapun bentuk aksara dan pasangan rekan itu digambarkan di bawah ini:

Aturan Penulisan Aksara Rekan

Untuk menggunaan Aksara Rekan beserta pasangannya diikuti aturan sebagai berikut :
  • Aksara rekan dapat menjadi pasangan
  • Aksara rekan dapat diberikan pasangan
  • Aksara rekan juga dapat diberikan sandangan sebagaimana aksara-aksara yang ada dalam Hanacaraka.

Bentuk Aksara Rekan dan Pasangan Rekan

Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara rekan ini, contoh berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Rekan.

Aksara Swara

Kegunaan Aksara Swara

Aksara Swara sebagaimana aksara Murda memiliki fungsi dan kegunaan tertentu. Aksara Swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya.

Bentuk Aksara Swara

Aksara Swara tidak seperti aksara-aksara yang lain. Aksara ini tidak dilengkapi dengan bentuk pasangan. adapun bentuk Aksara Swara ini adalah sebagai berikut :

Aturan Penulisan Aksara Swara

Dalam menuliskan Aksara Swara, diikuti aturan penulisan aksara swara sebagai berikut :
  • Aksara swara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan.
  • Bila aksara swara menemui sigegan (konsonan pada akhir suku kata sebelumnya), maka sigegan itu harus dimatikan dengan pangkon.
  • Aksara swara dapat diberikan sandangan wignyan, layar, cecak, suku, wulu dan lainnya.

Contoh Penggunaan Aksara Swara

Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara swara ini, contoh berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Swara.

Aksara Murda

Kegunaan Aksara Murda

Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan
  • Nama Gelar
  • Nama Diri
  • Nama Geografi
  • Nama Lembaga Pemerintah
  • Dan Nama Lembaga Berbadan
(Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang menunjukkan hal-hal diatas biasanya diawali dengan huruf besar atau kapital. Untuk itulah pada perangkat lunak ini kita gunakan huruf kapital untuk menuliskan aksara murda atau pasangannya)

Aksara Murda dan Pasangannya

Sebagai catatan mengenai aksara murda ini bahwa tidak semua aksara yang ada di Hanacaraka memiliki bentuk Murdanya. Aksara murda dalam Hanacaraka hanya berjumlah 7 buah. Bentuk Murda dalam hanacaraka juga memiliki bentuk pasangan yang memiliki fungsi sama dengan pasangan dalam aksara Jawa.

Bentuk Aksara Murda serta Pasangan Murda


Aturan Pengunaan

Untuk aturan penulisan Aksara murda ini hampir sama dengan penulisan aksara-aksara pokok di Hanacaraka, ditambah dengan beberapa aturan tambahan yakni :
  • Murda tidak dapat dipakai sebagai sigeg (konsonan penutup suku kata).
  • Bila ditemui aksara murda menjadi sigeg, maka dituliskan bentuk aksara pokoknya.
  • Bila dalam satu kata atau satu kalimat ditemui lebih dari satu aksara murda, maka ada dua aturan yang dapat dipergunakan yakni dengan menuliskan aksara murda terdepannya saja, atau dengan menuliskan keseluruhan dari bentuk aksara mudra yang ditemui.

Contoh Pemakaian Aksara Murda

Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.


Pasangan

Pasangan

Jika Carakan / aksara Jawa lebih bersifat silabis (kesukukataan), bagaimana Carakan bisa menuliskan huruf mati. Hal ini bisa dijawab dengan adanya pasangan. Pasangan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup (diakhiri) konsonan dengan suku kata berikutnya.
Sebagai contoh kata "banda" yang bila dipisahkan menurut silabiknya adalah "ban" dan "da". Suku kata yang pertama suku kata ban. Untuk menuliskan ban ini pertama-tama adalah dengan menuliskan aksara Ba terlebih dahulu. Kemudian menuliskan aksara Na karena aksara Na mewakili dua buah huruf latin yakni N dan A sehingga kita tidak bisa langsung menuliskan aksara da. Untuk mematikan huruf Na, maka kita harus menuliskan bentuk pasangan da.
Bentuk pasangan disebutkan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup konsonan dengan suku kata berikutnya. Artinya bahwa huruf yang diikuti pasangan akan dimatikan sehingga menjadi konsonan. Pada kasus di atas aksara Na diikuti pasangan Da yang berarti Na akan dibaca sebagai N.
Semua aksara pokok yang ada di Carakan memiliki pasangannya masing-masing. Bentuk pasangan ini ada yang dituliskan di bawah dan ada juga yang di atas sejajar dengan aksara.
Bentuk-bentuk pasangan itu adalah:
ha na ca ra ka
Jawa Ha Pasangan.png Jawa Na Pasangan.png Jawa Ca Pasangan.png Jawa Ra Pasangan.png Jawa Ka Pasangan.png
da ta sa wa la
Jawa Da Pasangan.png Jawa Ta Pasangan.png Jawa Sa Pasangan.png Jawa Wa Pasangan.png Jawa La Pasangan.png
pa dha ja ya nya
Jawa Pa Pasangan.png Jawa Dha Pasangan.png Jawa Ja Pasangan.png Jawa Ya Pasangan.png Jawa Nya Pasangan.png
ma ga ba tha nga
Jawa Ma Pasangan.png Jawa Ga Pasangan.png Jawa Ba Pasangan.png Jawa Tha Pasangan.png Jawa Nga Pasangan.png

Alasan dipakainya sandangan

Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. Di dalam tulisan jawa, aksara yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a. Vokal a di dalam bahasa Jawa mempunya dua macam varian, yakni / / dan /a/.
  • Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh doi dalam bahasa Indonesia, misalnya :
  • Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa, semua di dalam bahasa Indonesia, misalnya :
Sandangan di dalam aksara jawa dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni sebagai berikut :
  1. Sandangan Bunyi Vokal (Sandhangan Swara)
  2. Sandangan Konsonan Penutup Suku Kata (Sandhangan Panyigeging Wanda)
  3. Sandangan Gugus Konsonan

Sandangan bunyi vokal

Sandangan bunyi vokal ada lima buah. Adapun bentuk dari sandangan bunyi vokal ini adalah :

Pemakaian Sandangan Wulu

Sandangan Wulu dipakai untuk melambangkan vokal ( i ) di dalam suatu suku kata. Sedangkan wulu ditulis di bagian atas akhir suatu aksara. Apabila selain wulu juga terdapat sandangan yang lain, maka sandangan wulu digeser sedikit ke kiri.

Pemakaian Sandangan Suku

Penulisan sandangan suku dapat dituliskan dalam dua keadaan yaitu :
  • Penulisan sandangan suku pada aksara. Sandangan suku dipakai untuk melambangkan bunyi vokal u yang bergabung dengan bunyi konsonan di dalam suatu suku kata, atau vokal U yang tidak dituliskan dengan aksara swara.Sandangan suku dituliskan serangkai di bagian bawah akhir aksara yang mendapatkan sandangan itu.
  • Penulisan sandangan suku pada pasangan. Sandangan suku pada pasangan dituliskan mengikuti letak penulisan pasangan itu. Letak sandangan sukunya sendiri tetap berada pada bagian bawah akhir dari pasangan. Apabila sandangan suku mengikuti pasangan aksara (ka), (ta), atau (la), maka pasangan ini harus dirubah dulu ke dalam bentuk aksara pokoknya dahulu, baru kemudian diberikan sandangan suku.

Pemakaian Sandangan Pepet

Kegunaannya untuk dipakai untuk melambangkan vokal e di dalam suatu suku kata.
Aturan penulisan sandangan pepet tertera sebagai berikut:
  • Sandangan pepet ditulis di bagian atas akhir aksara.
  • Apabila selain pepet juga terdapat sandangan layar, maka sandangan pepet digeser sedikit ke kiri dan sandangan layar ditulis di sebelah kanan pepet.
  • Apabila selain pepet juga terdapat sandangan cecak, maka sandangan pepet digeser sedikit ke kiri dan sandangan cecak ditulis di dalam pepet.
  • Penempatan sandangan pepet pada aksara yang mendapatkan pasangan dituliskan sesuai dengan aturan di atas, kecuali untuk aksara yang mendapatkan pasangan yang dituliskan di atas seperti sandangan (ha), (sa), dan (pa). Untuk aksara yang mendapatkan pasangan ini, maka penulisan pepet berada di atas pasangannya.
Pengecualian: Sandangan pepet tidak dipakai untuk menuliskan suku kata re dan le yang bukan sebagai pasangan. Sebab suku kata re dan le yang bukan pasangan dilambangkan dengan tanda pacerek (re) dan Nga lelet (le).

Pemakaian Sandangan Taling

Sandangan taling dipakai untuk melambangkan bunyi vokal e atau e yang tidak ditulis dengan aksara swara E yang bergabung dengan bunyi konsonan di dalam suatu suku kata. Sandangan taling ditulis di depan aksara yang dibubuhi sandangan itu.
Catatan: Untuk membedakan penggunaan sandangan pepet dengan taling, maka dalam perangkat lunak ini gunakan:
  • e (kecil) untuk penulisan sandangan pepet
  • E (besar) untuk penulisan sandangan taling

Pemaikaian Sandangan Taling Tarung

Sandangan taling tarung dipakai untuk melambangkan bunyi vokal O yang tidak dituliskan dengan aksara swara di dalam suatu suku kata. Untuk Sandangan taling tarung dituliskan mengapit aksara yang dibubuhi sandangan itu.
Sandangan taling tarung untuk aksara pasangan di tuliskan mengapit aksara yang dimatikan (yang menjadi sigeg). Untuk aksara pasangan yang ada di atas seperti pasangan (ha), (sa), dan (pa), maka taling ditaruh didepan aksara sigeg, sedangkan tarung ditaruh di belakang aksara pasangan.

Sandangan penutup suku kata

Sandangan penutup suku kata ada 4 buah.

Pemakaian Sandangan Wignyan

Sandangan wignyan adalah pengganti sigegan ha (konsonan ha di akhir suku). Penulisan wignyan diletakkan di belakang aksara yang dibubuhi sandangan itu.

Pemakaian Sandangan Layar

Hampir sama dengan sandangan wignyan, sandangan layar digunakan untuk pengganti sigegan ra (konsonan ra di akhir suku). Penulisan layar ditulis dibagian atas akhir aksara yang mengikuti.

Pemakaian Sandangan Cecak

Sandangan cecak digunakan untuk menuliskan sigegan ng (sepasang konsonan nga di akhir suku kata). ada tiga buah kondisi dalam menuliskan sandangan cecak, yakni :
  • Sandangan cecak ditulis di atas aksara. Sandangan cecak dituliskan menurut aturan ini bila menemui keadaan aksara yang diikuti tidak memiliki sandangan di atas aksara selain dirinya.
  • Sandangan cecak ditulis di atas aksara belakang sandangan wulu. Apa bila sandangan cecak mengikuti sandangan wulu, maka sandangan cecak dituliskan di belakang sandangan wulu.
  • Sandangan cecak ditulis di atas aksara di dalam pepet. Sandangan cecak ( ) apabila mengikuti sandangan pepet (), maka penulisan cecak di taruh di dalam sandangan pepet. Dalam keadaan ini kedua sandangan penulisannya adalah sebagai berikut : ().

Pemakaian Sandangan Pangkon

Tidak seperti ketiga sandangan sebelumnya, sandangan pangkong memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itu adalah :
  • Sandangan pangkong dipakai sebagai penanda bahwa aksara yang dibubuhi sandangan pangkon itu merupakan aksara mati, aksara penutup suku kata, atau aksara penyigeging wanda. Sandangan pangkong ditulis di belakang aksara yang di bubuhi sandangan itu.
  • Sandangan pangkon dapat juga dipakai sebagai pembatas bagian kalimat atau rincian yang belum selesai, senilai dengan pada lingsa, atau tanda koma (,) di dalam ejaan latin, di samping untuk mematikan aksara. Pada kasus ini pangkong berfungsi ganda.
    • Contoh:
bapak macul, aku angon sapi, adhiku dolanan ijen.
  • Sandangan pangkon dapat ditulis untuk menghindarkan penulisan aksara yang bersusun lebih dari dua tingkat.
    • Contoh :
benik klambi

Sandangan gugus konsonan

Gugus konsonan adalah kumpulan dari dua konsonan dalam Hanacaraka yang akan membentuk suatu suku kata. sebagai contoh kraton yang dapat dipisah menjadi kra-ton. suku kata kra memiliki gugus konsonan kr. Di dalam Hanacaraka ada lima buah gugus konsonan yang digunakan dalam bentuk sandangan.

Sandangan Cakra

Sandangan cakra merupakan penanda gugus konsonan yang unsur terakhirnya berwujud konsonan r. Tanda cakra ditulis serangkai di bawah bagian akhir aksara yang diberi tanda cakra itu.
Aksara yang sudah diberikan cakra dapat diberikan sandangan lagi selain sandangan cakra, cecak, cakra la, cakra wa. Dan apa bila sandangan itu adalah pepet, maka sandangan cakra dan pepet ditulis menjadi cakra keret.

Sandangan Cakra Keret

Sandangan Cakra Keret dipakai untuk melambangkan gugus konsonan yang berunsur akhir konsonan r dengan diikuti vokal e pepet. Dengan kata lain cakra keret digunakan sebagai ganti tanda cakra yang mendapatkan penambahan sandangan pepet. Tanda cakra keret ditulis serangkai di bawah bagian akhir aksara yang diberikan tanda keret itu.

Sandangan Pengkal

Sandangan Pengkal dipakai untuk melambangkan konsonan y yang bergabung dengan konsonan lain di dalam suatu suku kata. Tanda pengkal ditulis serangkai di belakang aksara yang diberi tanda pengkal.

Huruf Jawa

Aksara Jawa memiliki pola tertentu. Tapi menghafal huruf dengan pengurutan “konvensional” agak susah karena tidak memperhatikan pola tsb.
Urutan konvensional aksara Jawa adalah:
HaNaCaRaKa DaTaSaWaLa
PaDhaJaYaNya MaGaBaThaNga

Penghafalan aksara jawa ini akhirnya saya buat seperti berikut:
payaraga nakahala
dasawata banyathanga
cadhamaja
Saya sempat ceritakan juga sedikit tentang filosofi huruf Jawa ini. Salah satu interpretasi yang pernah saya baca diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara (kalo nggak salah, saya baca di Wikipedia). Huruf Jawa dengan urutan “Ha Na Ca Ra Ka..” memiliki kepanjangan dan makna sendiri-sendiri.
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
Manusia “dihidupkan” atau dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan “telanjang”. Akan tetapi manusia memiliki cipta-rasa-karsa; otak yang mengkreasi cipta, hati yang melakukan fungsi kontrol (dalam bentuk rasa) serta  raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana.
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
Dengarkanlah suara hati (nurani) yang ada di dalam dada, agar bisa berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga (saka) sehingga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
PA DHA JA YA NYA = sama kuat
Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan keburukan.
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi

Meski dengan kehebatan cipta-rasa-karsa, entah kita baik atau jahat, akhirnya ruh/nyawa pasti suatu saat akan kembali ke Pencipta-nya. Sehingga manusia harus bisa mempersiapkan diri.
Budaya Jawa memang sebenarnya memiliki kearifan dan filsafat yang sangat dalam (huruf Jawa ini hanya salah satunya). Sayangnya semakin lama semakin Kita melupakan. Jadi sepantasnyalah kita mulai menggali mutiara-mutiara terpendam ini lagi.

Kamis, 17 Februari 2011

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,Yogyakarta & Jawa Timur. Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal beberapa daerah lain seperti di Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon.

Penyebaran Bahasa Jawa

Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah bahkan di luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

Variasi dalam bahasa Jawa

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) . Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.
Kelompok Barat
  1. dialek Banten
  2. dialek Cirebon
  3. dialek Tegal
  4. dialek Banyumasan
  5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
  1. dialek Pekalongan
  2. dialek Kedu
  3. dialek Bagelen
  4. dialek Semarang
  5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
  6. dialek Blora
  7. dialek Surakarta
  8. dialek Yogyakarta
  9. dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
  1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
  2. dialek Surabaya
  3. dialek Malang
  4. dialek Jombang
  5. dialek Tengger
  6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).

Seni Tradisional Jawa

Seni Tradisional Jawa secara sempit berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari Pulau Jawa, Indonesia. Beberapa contoh dari seni tradisional jawa antara lain tari gambyong.
Kesenian tradisional dari Jawa ada berbagai macam, tetapi secara umum dalam satu akar budaya kesenian Jawa ada 3 kelompok besar yaitu Banyumasan, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Seni Tradisional Banyumasan

Seni Tradisional Jawa Timuran

Agar budaya jawa tidak punah kita perlu melestarikan budaya jawa.